Minggu, 04 November 2012

Tata Cara Penulisan Blog


Sebagian besar orang – orang jaman sekarang ini sering kali bercerita mengenai berbagai hal antara lain, pengalaman kerja, kuliah di universitas ternama, cerita hal pribadi dan masih banyak lainnya pada sebuah blog. Hal tersebut semakin maraknya orang – orang membuat account blogger untuk sekedar menulis pengalaman mereka masing – masing.
Namun masih banyak yang kurang mengerti tata cara penulisan blog yang baik untuk itu saya akan memberi tahukan bagaimana caranya yang sudah saya kutip dari berbagai macam blog orang lain sebagai pencerahan dan masukan yang sangat berguna.
Tetapi ada juga orang-orang yang sudah menerti tata cara penulisan blog dan memberitahuakan kepada hal layak dengan melalui blog pribadinya tersebut supaya setiap orang dapat dengan baik dan benar menulis di blog masing – masing individu.
Ada beberapa inti dalam etika menulis blog yang baik diantaranya :
1.               Judul yang menarik, pemilihan judul adalah hal utama yang harus dipikirkan, karena judul yang menarik dapat membuat si pembaca penasaran dengan isi dari tulisan diblog tersebut. Judul juga harus sesuai dengan isi dari tulisan, jangan hanya karena ingin membuat judul yang menarik tapi tidak sesuai
dengan isinya.
2.           Jangan menggunakan huruf besar dan berwarna, degan menggunakan huruf besar sepertinya anda sedang emosi dan huruf berwarna membuat orang pusing karena itu lebih baik gunakan huruf dan ajaan yang biasa saja.
Akan lebih nyaman untuk dibaca dan dimengerti.


3.           Jangan lupa tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dll. Karena ini sangat mempunyai pengaruh yang besar untuk pembaca, salah tanda baca dapat diartikan lain oleh si pembaca, maka tanda baca sangatlah penting.


4.           Bahasa yang mudah dimengerti, jangan memakai istilah yang jarang orang pakai atau beri penjelasannya pada pertama kali kata itu dipakai. Sehingga orang yang membaca blog anda akan mengerti tentang apa yang diasampaikan sipenulis. Karena orang tidak akan mengerti jika kita memakai bahasa “high class” yang hanya para ahli atau orang tertentu yang berkecimpung didunia tersebut yang dapat mengerti bahasa tersebut.


5.           Jangan bertele-tele, dalam menyampaikan maksud dari isi jangan terlalu berputar-putar karena membuat orang binggung dan tidak mengerti inti dari penulisan tersebut, setelah awal paragraph dibuat bolehlah sedikit bertele-tele tapi sedikit saja.
6.           Pilih bahasa yang pantas dan sopan, kalau kita memakai bahasa yang kurang baik dan tidak sopan akan membuat pembaca bertanya “nie blog siapa yang buat? Gak belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar apa disekolah?”.Karena itu jangan memakai bahasa yang aneh atau bahasa gaul. Orang yang tidak mengerti akan memiliki pendapat lain.

7.            Jangan sampai salah ketik, kalau sampai salah ketik bisa berdampak bahaya, tidak setiap orang mempunyai pendapat yang sama bisa jadi karena salah ketik menyebabkan arti yang berbeda. Jadi sebelum dikirim lebih baik periksa kembali, apakah ejaan, tulisan itu sudah layak untuk dipublikasikan.

8.           Tambahkan humor dalam penulisan, ada sedikit humor lebih baik. Orang tidak terlalu tegang dan merasa lebih rileks jika kita menulis sesuatu didalamnya ada sedikit humor, cukup sekali atau dua saja sudah cukup, karena terlalu banyak pun membuat orang tidak tertarik lagi.
9.           Jangan sering copy-paste dalam menulis blog jangan sering melakukan itu, membuat kretifitas kita tidak berkembang, boleh juga hal itu dilakukan tapi dengan cara tetap mencantumkan link- nya dariman kita mendapatkan informasi tersebut.
10.     Pemilihan gambar, jika didalam penulisan anda ingin ditampilkan gambarnya, sebaiknya jangan yang gambar yang besar itu membuat orang yang akan membuka blog anda menunggu terlalu lama, jadi jangan sampai karena gambar tersebut orang tidak jadi membuka blog anda.
Menurut saya dalam menulis di blog untuk tugas atau pun hal resmi harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namum apabila ingin menulis dengan hal – hal pribadi boleh menggunakan bahasa sehari – hari yang penting sopan dan jelas. Tidak menggunakan kata – kata yang kasar atau yang tidak enak di baca leh orang banyak.

Sumber: http://fitriapratiwi.blogspot.com/2012/10/cara-menulis-blog-yang-baik-dan-benar.html

Karangan Deskripsi


Gedung Olahraga dikala Kejurnas

          Sore itu aku berada di sebuah gedung olahraga yang besar dengan rerumputan hijau yang indah. Poster bertuliskan ”kejurnas bulutangkis” serta bendera bergambar atlet bulutangkis meramaikan bagian halaman depan gor yang terletak di jalan Sudiang tersebut. Lautan manusia adalah pemandangan pertama yang kudapati. Disetiap sisi gor terdapat berbagai macam stand yang menjual berbagai macam barang. Baju bertuliskan ”i love badminton”, gantungan kunci berbentuk shuttelcock, serta DVD menjadi serbuan para pembeli. Pergi ke gor untuk menonton pertandingan bulutangkis adalah impianku sejak lama.
          Anak tangga yang banyak dan cukup tinggi menjadi tantangan  untuk masuk ke dalam gor. Sebuah poster besar berukuran 3 x 3 meter menghiasi pintu depan gor tersebut. Tampak 4 orang TNI berjaga di depan pintu. Dari balik pintu bahkan sudah terdengar histeria dari penonton yang berada dalam gor yang tampak berdinding kokoh itu.
          Dinding gedung olahraga terlihat gelap dengan warna hijau tua yang menutupi tiap bagian dindingnya.. Terlihat tempat duduk tersusun secara bertingkat memenuhi seluruh isi gor dan mengelilingi 6 buah lapangan hijau, yang dilengkapi dengan kursi wasit, kursi pelatih, papan nilai dan tentunya 6 buah jaring net. Sorot lampu ke arah lapangan memperjelas pandanganku pada atlet-atlet yang bertanding di lapangan karpet tersebut. Bunyi decikan sepatu altet bahkan terdengar sampai ke bagian kursi penonton. Menginjakkan kaki ke dalam gor adalah hal paling mengagumkan bagiku.
          Ruangan gor yang luas namun tanpa ventilasi, tanpa ruang terbuka selain pintu, dan tanpa AC membuat udara terasa sangat panas. Bahkan jumlah penonton yang mencapai ribuan membuat suasana semakin sesak. Tidak ada perbedaan antara kursi tribun biasa dengan kursi VIP yang tepat berada di tengah gor, semuanya merasakan suasana yang sama. Panas yang menemani dan keringat yang menggelujur di seluruh tubuh menjadi hadiah tersendiri dari gedung olahraga yang menjadi langganan tempat kejurnas berlangsung setiap tahunnya.

Selasa, 26 Juni 2012

Kasus BLBI dan Penyelesaiannya


1. Selayang Pandang Kasus BLBI

    Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak karena pada kenyataannya negara-negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.

    Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.

    Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort . Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI . Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya.
Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.

    Penyimpangan BLBI dapat dianggap sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI.

2. Audit oleh BPK

    Tanggal 31 Desember 1999, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengeluarkan laporan audit kinerja pada Bank Indonesia per 17 Mei 1999. Dalam laporan tersebut BPK mengungkapkan jumlah BLBI yang telah disalurkan oleh BI kepada bank penerima telah mencapai jumlah Rp. 164.536,10 miliar dan jumlah BLBI yang tidak layak dialihkan kepada pemerintah sebesar Rp. 80,24 triliun.
Pengalihan hak tagih BLBI dari BI terhadap bank umum penerima kepada pemerintah merupakan tindak lanjut dari pengalihan 54 Bank dalam Penyehatan dari BI ke BPPN pada
Maret 1998 dan pelaksanaan program penjaminan pemerintah yang dicanangkan melalui persetujuan bersama Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada tanggal 6 Februari 1999.

    Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus 2008 menunjukkan, sebanyak Rp 138 triliun dari dana itu atau sekitar 96 persennya ternyata diselewengkan pemilik bank untuk kepentingan sendiri. Sepuluh tahun sejak kasus ini mencuat, pemerintah dinilai tak serius menyelesaikannya. Banyak pemilik bank atau obligor melarikan diri ke luar negeri.

    Sebagian penunggak dana BLBI lolos kewajiban melunasi utang saat pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang memungkinkan lepasnya tuntutan dan pembebasan terhadap mereka. Peraturan ini diterbitkan di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri-Hamzah Haz.

    Hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus. Bahkan, pada era pemerintahan SBY-JK, tidak ada satu orang terdakwa pun yang diajukan ke pengadilan.
Tuntutan untuk mengusut kasus BLBI memang selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga pergantian jaksa agung baru. Namun, tindak lanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.

3. Audit oleh BPKP

    Audit investigasi juga dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPK melakukan audit terhadap seluruh penyaluran BLBI dari BI kepada 48 bank penerima dan audit investigasi terhadap penggunaan BLBI pada 5 Bank Take Over dan 15 Bank dalam likuidasi. Sedangkan BPKP melakukan audit investigasi penggunaan BLBI pada 10 Bank Beku Operasi dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha.

    Menteri Keuangan Bambang Sudibyo meminta BPKP melakukan audit investigasi berkoordinasi dengan BPK Untuk mengetahui berbagai penyimpangan dalam kasus BLBI baik yang dilakukan oleh BI maupun bank penerima BLBI. BPKP melakukan audit terhadap Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Sedangkan BPK melakukan audit investigasi terhadap Bank Dalam Likuidasi (BDL) dan Bank Take Over (BTO).

    Dalam laporannya, BPKP menyebutkan bahwa kerugian negara disebabkan oleh peranan BI yang belum melakukan pengawasan sebagaimana mestinya, belum menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi, dan lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya ada indikasi pelanggaran. Selain itu BPKP juga menganggap tidak adanya pengendalian yang memadai oleh BI terhadap penggunaan dana BLBI oleh para obligor sebagai faktor yang turut memperkeruh penanganan kasus ini.

    Pernyataan tersebut kemudian disangkal oleh Gubernur BI Syahril Sabirin yang menyatakan bahwa BLBI yang diberikan BI merupakan konsekuensi dari pelaksanaan pemerintah sebagai lender of the last resort di bidang perbankan. Jika tidak, ekonomi sudah hancur dan ambruk.
Selain itu, BPKP juga menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI pada bank penerima, seperti digunakan untuk pembayaran pinjaman subordinasi sebelum tahun 1997, pembayaran kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo, Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan, dan Membiayai over head Bank. Bila dilakukan perhitungan penyimpangan yang dilakukan oleh bank penerima berjumlah Rp. 54,561 Milyar.

    Syahril Sabirin beranggapan BLBI itu seperti ongkos yang harus ditanggung sebagai bagian untuk penyelamatan ekonomi. Dalam kesempatan itu, Gubernur BI juga menyampaikan bahwa jumlah BLBI yang sudah dikucurkan sampai pada posisi 29 Januari 1999 adalah Rp. 164,54 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp. 144,54 triliun sudah dialihkan kepada pemerintah lewat BPPN. Sementara Rp. 20 triliun tidak dapat dialihkan ke BPPN karena merupakan penyertaan modal pemerintah lewat Bank Exim.

 
PENYELESAIAN KASUS BLBI

    Pemerintah, dalam hal ini BPPN, terus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan
pengembalian uang negara dari tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun dari
para debitur masing-masing bank yang mendapatkan penyaluran dana BLBI. Berbagai konsep
penyelesaian yang sifatnya menyeluruh telah dibuat dalam rangka mendapatkan kembali dana
BLBI tersebut.

    Dalam upayanya mengoptimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya
penyelesaian dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan
dari para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut berupa:
  1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali.Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreemen (MSAA), pola ini dan master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
  2.  Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modalsementara (PMS).
  3.  Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU). MSAA merupakan skema untuk penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali (PSP) bank yang masih memiliki harta cukup untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap pemerintah. MSAA sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan terhadap pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002). Masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International. Jika aset yang diserahkan dinilai tidak mencukupi, para pengutang BLBI menggunakan skema MRNIA. Melalui skema ini, para penandatangan harus menyerahkan jaminan pribadi atau personal guarantee dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset, bila aset yang sudah diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank Hokindo. Skema penyelesaian dengan MSAA kemudian menimbulkan kontroversi. Terutama karena  aset yang diserahkan ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah menggunakan skema Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab bila aset yang diagunkan ternyata tidak cukup untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima. Sedangkan PKPS merupakan penyempurnaan terhadap mekanisme penyelasaian BLBI melalui MSAA dan MRNIA yang mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui penandatanganan akta pengakuan utang (APU). Dalam akta pengakuan utang (APU), mekanisme penyelesaian kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam jangka waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade, Putera, Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional, Intan, PSP, Namura Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken, Mashill, dan Sanho. Untuk APU, telah dilakukan reformulasi jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Selain itu pembayaran yang berdasarkan perjanjian sebelumnya jatuh tempo pada akhir 2004, dipercepat menjadi selambat-lambatnya Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham yang tidak kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan

Jumat, 27 April 2012

Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Asuransi 2

KasusAsuransi dan Cara Penyelesaiannya

PENYELESAIAN KLAIM ASURANSI CONTRACTORA ALL RISK(STUDI KASUS PADA PT.ASURANSI WAHANA TATA TERHADAP PROYEK PEMBANGUNAN JEMBATAN KEBON AGUNG SLEMAN YOGYAKARTA)

Setahun yang lalu pernah terjadi sebuah kasus dalam penyelesaian klaim asuransi oleh perusahaan konstruksi atas proyek pembangunan jembatan Kebon Agung yang menghubungkan wilayah Kabupaten Sleman dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo di Yogyakarta. Klaim tersebut didasari beberapa kali peristiwa yang tidak terduga yang terjadi dalam pengerjaan proyek tersebut. Pertama, peristiwa terjadi pada bulan November 2007, pada saat melaksanakan gelagar bentangan, setelah pemasangan, selang waktu kurang lebih 17 jam, satu buah bentangan jatuh, dan satu buah girder yang telah terpasang jatuh dan menyebabkan pecah sehingga timbul kerugian material. Pada kasus pertama ini pelaksana konstruksi PT Hutama Karya terlambat membayar premi, seharusnya klaim yang diajukan ditolak oleh PT. Asuransi Wahana Tata. Namun, dengan pertimbangan adanya hubungan baik antara pihak pelaksana konstruksi dengan pihak PT.Asuransi Wahana Tata, maka klaim tetap dapat diajukan dan memperoleh ganti rugi meskipun dalam jumlah yang tidak semestinya. Hubungan baik ini dalam istilah asuransi dinamakan Ex Gratia. Hal ini dilakukan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak. Kedua, tidak lama berselang peristiwa berikutnya terjadi terjadi pada bulan Desember 2007, ketika itu sedang musim hujan sehingga menyebabkan Kali Progo tempat proyek tersebut banjir dan meluap hingga 3 meter. Kondisi ini, menyebabkan pasangan batu dan beton bertulang runtuh dan lima buah girder retak. Klaim dapat dilaksanakan secara normal (sesuai pertanggungan), karena semua prosedur telah dipenuhi sesuai persyaratan. Sehingga, pelaksana konstruksi mendapatkan ganti rugi sesuai dengan jumlah yang tercantum di dalam polis.



PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI PADA POLIS ASURANSI YANG MENCANTUMKAN KLAUSULA ARBITRASE(STUDI KASUS PADA POLIS PT ASURANSI HANJIN KORINDO DAN POLIS PT ASURANSU JAYA PROTRKSI)

Secara garis besar substansi dari polis asuransi terdiri dari uraian mengenai obyek yang dijamin, nama dan alamat penanggung dan tertanggung, jangka waktu berlakunya polis, risiko atau bahaya yang dijamin dan dikecualikan, syarat-syarat atau ketentuan umum dan yang terakhir adalah cara penyelesaian sengketa atau perselisihan apabila terjadi klaim yang biasanya disebut klausula arbitrase atau penyelesaian sengketa. Klausula arbitrase dalam polis asuransi memuat ketentuan apabila terjadi sengketa antara penanggung dan tertanggung maka para pihak sepakat untuk mengupayakan penyelesaian secara musyawarah (amicable setllement), namun apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Semua polis asuransi yang dikeluarkan oleh AAUI memuat klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase, karena itu dalam penulisan ini akan dikaji lebih lanjut perihal pencantuman klausula arbitrase dalam polis asuransi dan kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa asuransi yang ditempuh oleh para pihak. Penulisan ini akan membahas dua polis asuransi yang sama-sama mencantumkan klausula arbitrase dan proses penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh penanggung dan tertanggung. Kedua polis yang dibahas yakni polis PT Asuransi Hanjin Korindo dan PT Asuransi Jaya Proteksi memiliki klausula arbitrase yang sama dan juga sengketa yang sama yakni masalah liability akan tetapi terdapat inkonsistensi dalam pemberian putusan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait kedua perkara tersebut .Inkonsitensi yang terdapat dalam kedua putusan tersebut dapat terjadi karena substansi klausula arbitrase dalam polis yang kurang jelas dan menyebabkan multi penafsiran, dimana pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ditetapkan apabila terjadi sengketa terkait perbedaan jumlah yang harus dibayarkan berdasarkan polis, sedangkan tidak ada ketentuan lain yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa terkait polis apabila menyangkut liability.

Penyelesaian Sengketa Ekonomi



Pengertian Sengketa

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 

1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).

Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.

b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.

Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.

Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
4. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. 

Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.

Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. 

Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, 

Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Azas dan tujuan
AsasPelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
TujuanUndang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
Perjanjian yang dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . 
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
Hal-hal yang dikecualikan dalam UU anti monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi pengawas persaingan usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, 
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.